Sejarah Imam Abul Hasan Asy-Syadzili


Namanya lengkapnya adalah Abul Hasan Asy-Syadzili Al-Hasani. Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili adalah pendiri Tarekat Syadziliyah. Nasab atau garis keturunan Abul Hasan Asy-Syadzili bersambung sampai dengan Rasulullah saw.

Bab I
Wali Sejak Usia Dini

Kelahiran dan Masa Kecil
Pada tahun 593 H./1197 M. lahir bayi mungil yang kelak masyhur akan kewaliannya. Bayi itu lahir di Afrika utara bagian ujung paling barat, tepatnya di desa Ghemaroh, negeri Maghrib al-Aqso/Maroko. Putra dari sayyid Abdullah Ini kemudian diberi nama Ali. Ia masih keturunan dari baginda nabi Muhammad r. melalui jalur Sayyidina Hasan bin Sayyidina Alin bin Abi Tolib.
Pendidikan awal Ali kecil langsung dibimbingan sendiri oleh kedua orang tuanya. Sejak itu pula sudah tampak dari dirinya budi pekerti luhur, kata-katnya fasih dan santun, memiliki cita-cita yang tinggi, dan gemar mencari ilmu. Sehinnga, tak mengherankan di umur yang relative belia, ia sudah mulai berkelana meninggalkan ayah ibu untuk rihlah menuntut ilmu.

Pertemuan dengan Nabi Khidlir 
Setelah mengenyam pendidikan dari orang tuanya, Ali pergi menuju Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara). Saat itu, usianya baru menginjak 6 tahun. Setibanya di sana, ia mendapati negara tersebut sedang dilanda paceklik dan kelaparan. Banyak ditemukan mayat di tengah jalan dan pasar-pasar. Terbesitlah di hati Ali, “Andaikan saya punya uang, saya akan membeli roti untuk mereka.” Seketika itu Allah I mengisi saku Ali dengan banyak uang. Ia pun bergegas membelanjakan uang tersebut. Kemudian dibagikannya kepada orang-orang yang sedang kelaparan.
Kebetulan hari itu adalah hari Jum’at. Setelah selesai dari aktifitas sosialnya, ia kemudian mencari masjid Jami’. Ia segera mengawali dengan dua raka’at tahyatul-masjid saat memasuki nya. Setelah salam, tidak disangka, di samping kanan Ali telah hadir seseorang yang tampaknya sudah menanti. Lalu Ali mengucapkan salam kepadanya. Orang itu tersenyum. “Tuan, siapa Anda?” Tanya Ali polos.” Saya Khidhir, Allah memerintahkanku untuk menemui kekasih-Nya di Tunis. Namanya Ali. Maka saya segera menemui Anda.” Jawab orang itu. Percakapan mereka belum panjang, namun shalat harus segera didirikan. Seusai shalat, ternyata nabi Khidhir u telah raib entah ke mana. Tampaknya, Khidhir u datang sekadar memberi tahu bahwa Ali telah terpilih sebagai kekasih Allah I.

Bab II
Berkelana Mencari Pembimbing Jiwa

Berguru kepada Syaikh al-Baji
Setelah peristiwa itu, Ali segera menuju seseorang yang dikenal wali, yaitu Syaikh Abi Sa’id al-Baji. Ia bermaksud menanyakan tentang ihwal yang menimpanya tadi. Namun, Syaikh al-Baji sudah tahu maksud kedatangan Ali. Ia juga menyampaikan terlebih dahulu tentang apa yang hendak dicerikatan Ali kepadanya.
Setelah itu, Ali tinggal bersamana beliau. Ia belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan kepada Sayikh al-Baji. Ali kecil tinggal bersama syaikh al-Baji hingga beranjak dewasa. Dikarnakan sangat dekatnya Ali kepada gurnya itu, kemudian ia sering mendampingi sang guru naik haji.
Meskipun sudah bertahun-tahun menimba ilmu kepada syaikh Abi Said al-Baji, kehausan Ali muda akan ilmu makin mendahaga. Maka, ia memantapkan hati untuk meniti sebuah jalan (toriqoh) sekaligus ingin mencari wali al-Quthb sebagai pembimbing. Lalu, ia beranikan diri untuk pamit kepada gurunya dan memohon doa.

Mencari Sang Quthb
Dengan tekat yang kuat Ali muda berangkat menuju kota kelahiran Islam, Makkatul- Mukarramah. Tujuan pertamanya datang ke pusat negeri Islam ini adalah mencari wali Quthb yang akan dijadikannya sebagai pembimbing spiritual. Namun, setelah berbulan-bulan ia menetap Mekah, wali yang beliau cari tak kunjung ketemu. Hingga, pada suatu ketika, seorang ulama memberitahukan bahwa wali Quthb yang ia cari berada di Iraq.
Sesampainya di Iraq, Ali sibuk bertanya dan mencari kesana-kesini, namun tak ada seorang pun yang tahu keberadaan sang wali di negeri tersebut. Memang, setelah wafanya Syaikh Abdul Qodir al-Jailani t keberadaan wali Quthb cenderung disamarkan. Sedangkan selisih antara wafatnya Syaikh Abdul Qodir al-Jailani t dan kelahiran Ali asy-Syadzily terpaut 32 tahun.
Meskipun demikian, Ali muda tak patah semangat. Suatu ketika, ia mendengar tentang kewalian pemimpin tarekat Rifaiyah yang bernama Syaikh ash-Shodiq Abul Fath al-Washiti t. Syaikh Abul Fath al-Washiti adalah orang yang sangat disegani dan memiliki pengikut yang sangat besar di Iraq. Segeralah Ali asy-Syadzily menemuinya dan bertanya keberadaan wali Qutbh. Mendengar penuturan Ali, syaikh Abul Fath berkata, “Kau susah payah mencari wali Quthb di Iraq, padahal beliau berada di negerimu sendiri. Pulanglah! dan temui beliau di sana”.

Disambut oleh Sang Wali
Setelah mendengar petunjuk dari Syaikh Abul Fath al-Washiti, maka Ali segera pulang untuk menemui sang Quthb. Sesampainya di Maroko, beliau kembali bertanya-tanya tentang keberadaannya. Tak lama kemudian, terdengar bahwa sang wali sedang menyendiri di dalam gua di salah satu puncak gunung Maroko. Wali itu bernama Syaikh al-‘Arif ash-Shiddiq al-Quthb al-Ghauts Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy.
Sesampainya di lereng gunung, Ali segera membersihkan diri. Beliau mandi di mata air lereng gunung tersebut untuk memuliakan sang wali. Saat itu, ilmu dan amalnya terasa jatuh berguguran bersamaan dengan aliran air yang membasuh tubuhnya; seakan ia terlahir kembali sebagai seorang faqir.
Syahdan, hadir di hadapannya, sesosok manusia yang tampak sudah lanjut usia. Ali terkejut dan tidak tahu dari arah mana datangnya. Namun, dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat kesalehan dan ketakwaan yang amat luhur. Setelah uluk salam beliau mengucapkan selamat datang. “MarhabanYa, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin…” Dan seterusnya. Syaikh Abdus Salam al-Masyisy menyebutkan nasab beliau hingga Rosulullah e. Setelah itu, Syaikh Abdus Salam al-Masyisy berkata, “Ya Ali, engkau datang kepadaku dalam keadaan faqir dari ilmu dan amalmu, maka engkau akan mengambil dariku kekayaan dunia dan akhirat.
Dengan demikian, Ali percaya bahwa orang yang berada di hadapannya adalah orang yang dicarinya selama ini.
“Wahai anakku, puji syukur hanya bagi Allah I. yang telah mempertemukan kita pada hari ini. Ketahuilah wahai anakku! Sesungguhnya, sebelum engkau datang ke sini, Rosullah r telah memberi tahu tentang dirimu dan bahwa kamu akan datang hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas untuk membingbingmu. Oleh karna itu, ketahuilah kedatanganku ke sini memang untuk menyambutmu”. Sambut Syaikh Abdus Salam al-Masyisy.

Secercah Peta Kehidupannya
Syaikh Abul Hasan asy-Syadzaili (pangilan akrab beliau) kemudian belajar dan tinggal bersama gurunya tersebut. Selama berguru kepada Syaikh Abdus Salam al-Masyisy, beliau banyak menyerap hikmah dan lanturan-lanturan, utamanya yang berkenaan dengan penjagaan hati dan pendekatan deiri kepada Allah I.
Namun yang terpenting dari apa yang beliau dapatkan dari sang guru adalah ijzah dan bayat suta tariqat yang bemudian dikenal dengan Syadziliyah.
Setelah itu, sang guru memetakan hidup yang akan beliau jalani selanjutnya. Guru pembingbingnya itu berkata, “Wahai. Ali, pergilah ke Afrika dan tinggalah di suatu tempat yang bernama Syadzilah. Karna Allah I akan memberi nama asy-Syadili untukmu. Setelah itu, pergilah ke kota Tunis, di kota itu engkau akan disakiti oleh pihak kerajaan. Lau pindahlah ke negeri timur (Mesir), di negeri itu engkau akn memperoleh qutbâniyah (gelar wali quthb)”.
Sebelum beliau benar-benar pergi dan berpisah dengan gurunya tercinta, Syaikh Abu Hasan Asy-Syadzili meminta kepada gurunya agar memberi nasihat dan wasiat yang terakhir. Lalu sang guru berkata, “Wahai Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikan lisanmu dari menyebut kejelekan mereka, serta sucikanlah hatimu dari condong pada mereka. Jagalah anggotamu (dari maksiat) dan kerjakanlah kewajibanmu. Dengan demikian, sungguh telah sampurna kewalianmu.”



Bab III
Meraih Gelar Quthbaniyah

Mengapa asy-Syadlili?
Sesuai titah sang guru, kemudian Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili pergi menuju Afrika dan tinggal di sebuah tempat yang bernama Syadzilah (terletak di wilayah negeri Tunisai). Di tempat inilah beliau mulai dikenal masyarakat luas hingga masyhur dengan sebutan Asy-Syadzili.
Namun, ada cerita lain yang menarik tentang penisbatan asy-Syadili kepada beliau. Suatu hari beliau bertanya tentang penisbatan tersebut. “Ya Allah, kenapa Engkau beri nama aku dengan asy-Syadili, padahal aku bukan orang Syadlilah?”. Tanya beliau. Maka dikatakanlah, “Ya Ali, Aku tidak memberi nama kepadamu dengan asy-Syadlili tapi kamu adalah asy-syâdl-lî dengan dibaca tasydîd dzâl-nya (yang jarang bagiku), yakni karena keistimewaanmu untuk menyatu mencintai-Ku dan berkhidmah kepada-Ku.”
Sesampainya di Syadilah, orang-orang menyambut beliau dengan hangat; seakan Syaikh Abul Hasan sudah dinanti-nantikan kedatangannya. Namun beliau tinggal di Syadilah tidak terlalu lama. Beliau segera bergegas menuju bukit zaghwag di luar desa Syadlilah dengan ditemani salah satu muridnya, Abu Muhammad Abdullah bin Salma Al-Habibi, untuk menyempurnaka ibadah beliau.
Selama berada di bukit, banyak keajaiban yang disaksikan oleh Al-Habibi. Ia melihat (dengan mata batin) bahwa malaikat mengerumuni Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili bahkan sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan dan berbincang-bincang dengan beliau. Begitu juga tak asing bagi al-Habibi menyaksikan para auliya berdatangan mengunjungi beliau.
Setelah sekian tahun di Zaghwah, beliau mendapat perintah dari Allah I. agar segera turun. Maka tibalah saatnya, beliau pergi ke kota Tunis seperti yang dipetakan oleh gurunya untuk menemui masyarakat.

Ujian Syaikh Abul Hasan
Setibanya di kota Tunis, beliau tinggal di sebuah masjid. Masyarakat pun segera berbondong-bondong mengunjungi majlis beliau. Tidak hanya masyarakat umum, kalangan alim ulama juga ikut serta menimba ilmu kepadanya, diantaranya asy-Syaikh Abul Hasan Ali bin Makhluf as-Syadlili, Abu Abdullah ash-Shobuni, Abu Muhammad Abdul Azizi Azzaituni, Abu Abdullah al-Bajj’i al-Khayyat, dan Abi Abdullah al-Jarihi.
Kebesaran Syaikh Abul Hasan asy-Saydilli kemudian terdengar oleh Ibnul Barro’. Dia adalah kadi (hakim agama) agung di Tunis. Meskipin termasuk dalam jajaran fuqahâ’, namun di sisi lain dia memiliki sifat buruk. Ibnul Barro’ dengki terhadap Syaikh Abul Hasan. Ia takut jabatan dan wibawanya hilang sebab kehadiran Syaikh Abul Hasan di Tunis.
Kemudian dia datang untuk mendebat beliau, tapi tidak bisa. Ketinggian ilmu syaikh Abul Hasan dapat menjawab berbagai kemusykiran nyeleneh dari Ibul Barro’. Mulai saat itu, Ibnul Barro’ mulai melancarkan berbagai fitnah terhadap Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili kepad asultan Abu Zakaria. Ia katakan bahwa ada orang penggiring himar dari Syadlilah yang mengaku orang mulia, banyak pengikutya, dan membuat keonaran di kota Tunis
Mendengar pengaduan tersebut, Abu Zakaria mengumpulkan para pakar fikih. Ibnul Barro’ juga hadir bersama mereka. Sedangkan sultan Zakaria berada di tempat tertutup yang tidak bisa terlihat. Terjadilah perdebatan antara fuqahâ’ tersebut dengan Syaikh Abil Hasan. Semua pertanyaan dari mereka dapat dijawab oleh beliau. Namun tidak sebaliknya; tak satu pun yang dapat menjawab pertanyan Syaikh Abul Hasan. Dari sana, sultan Abu Zakaria tahu bahwa Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili adalah wali besar. Ia berkata kepada Ibnul Barro’, “ ini adalah seorang wali besar, kamu tidak akan bisa mengalahkannya”. Namun, kedengkian Ibnul Barro’ bukannya terobati dengan peristiwa tersebut. Konon, ilmu yang dimiliki Ibnul Barrok lenyap tidak tersisa.
Suatu waktu, terbesitlah di hati Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili untuk menunaikan ibadah haji. Beliau berseru kepada murid-muridnya untuk sementara waktu hijrah ke negeri sebelah timur. Sambil menunggu datangnya bulan haji, beliau bersama santri-santrinya bersiap-siap untuk melakukan perjalanan jauh menuju Mesir.
Dalam perjalanan ke Mesir, fitnah Ibnul Barro’ masih juga menyelimuti. Dia mengadu kepada pihak kerajaan Mesir bahwa Syaikh Abil Hasan asy-Syadlili telah membuat kekacauan di kota Tunis. Syaikh Abul Hasan tentunya akan melakukan hal yang sama kepada negeri Mesir. Karena pengaduan tersebut, sultan Mesir mempermasalahkan kedatangan beliau. Namun pada akhirnya, fitnah tersebut teratasi dan Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili memaafakan kekhilafan sultan Mesir itu.
Seusai haji, Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili kembali ke Tunis untuk melanjutkan dakwah. Beliau membangun sebuah zawiyah (pondok) sebagai bengkel ruhani. Zawiyah tersebut semakin ramai dari hari ke hari. Tercatat bahwa ini adalah zawiyah pertama Syaikh Abul Hasan dan didirikan pada tahun 625 H./1228 M.

Menyandang Gelar Quthb
Selanjutnya, Asy-Syaikh Abu Hasan Asy-Syâdzili menanti datangnya perintah yang ke tiga. Dalam penantian itu, Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili bermimpi Rosulullah r. Rosulullah r berkata, “Ya Ali, sudah saatnya engkau meninngalkan negeri ini. Sekarang pergilah ke negeri Mesir. Dan ketahuilah, selama dalam perjalanan, Allah akan menganugrahkan kepadamu tujuh puluh karamah. Selain itu, kelak engkau akan mendidik empat puluh dari orang shiddiqîn.”
Dengan demikian tibalah saatnya beliau menapaki perjalanan selanjutnya sebagaimana yang dipetakan sang guru. Lalu, beliau berangkat menuju negeri Mesir. Beliau bersama rombongannya tiba di negeri piramid itu pada tanggal 15 Sya’ban (Nisfu Sya’ban).
Diceritakan bahwa ketika beliau menginjakkan kakinya di atas bumi Mesir, bersamaan dengan takdir Allah I untuk memanggil ruh wali Quthb di negara itu, yaitu bersamaan dengan wafatnya asy-Syaikh Hajjaj al-Aqshory, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Qhûtuz Zamân.
Dan saat itu pula, Allah I mengangkat derajat Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili sebagai Quthb menggantikan Syaikh Hajjaj al-Aqshori t.

Membangun Zawiyah Syadziliyah
Sesampainya di Mesir, beliau langgsung menuju kota Iskandaria. Kedatangan beliau di kota tersebut langsung disambut hangat oleh sultan Mesir dan penduduk setempat, termasuk para ulama negeri.
Mereka semua, dengan wajah beseri-seri menjabat tangan beliau. Perjumpaan masyarakat dengan Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili tampak seperti pertemuan keluarga yang lama terpisah. Rasa ridu yang sempat tertahan kini telah terobati.
Karena rasa bahagia yang besar atas kedatangan Syaikh, sultan Mesir memberikan sebuah tempat tinggal di Iskandaria dengan nama Buruj As-sur. Tempat tinggal tersebut berada di pesisir laut tengah negeri Mesir. Di komplek beliau tinggal itu telah dibangun masjid besar dan bilik-bilik tempat para murid beliau uzlah dan sulûk.
Beliau juga rutin mengajar dan menyebarkan panji-panji Islam kepada masyarakat di kota Kairo, pusat kerajaan Mesir. Tampaknya, dakwah beliau disambut baik oleh masyarakat luas, tidak hanya kota Iskandaria dan Kairo. Hari demi hari, pengajian beliau terus dibanjiri oleh para penuntut ilmu dan peniti jalan ilahi. Begitu juga tarekat Syadziliyah yang sebelumnya hanya diikuti oleh penduduk setempat, mulai menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Berjuang dengan Pedang
Dikisahkan, saat itu raja Prancis LOUIS IX memimpin tentara salib untuk membasmi kaum muslimi sekaligus menghanguskan ajarannya dari muka bumi. Ia hendak menaklukkan seluruh jazirah Arab di bawah telapak kakinya. Maka asy-Syekh Abul Hasan asy-Syadzili yang saat itu telah berusia 60 tahun lebih dan sudah dalam keadaan hilang penglihatan, tidak ketinggalan berjuang bersama pejuang lainnya. Selain Syaikh Abul Hasan, tidak seditik dari ulama termuka saat itu yang juga ikut membantu berjuang, diantaranya Syaikh Izzuddin bin Abbdussalam, Syaikh Majduddin bin Taqiyuddin Ali bin Wahab al-Qusyairi, dan Syaikh Majduddin al-Ikhmimi.
Beliau dan para pejuang lainnya berpeluh darah di siang hari namun tetap berselimut dzikir pada malamnya. Maka dengan kegigihan dan doa, kaum muslimin meraih kemenangan pada bulan Dzul Hijjah tahun 655 H/1257 M. Dan Raja LOUIS IX serta para panglimanya berhasil ditanggakap dan ditahan.
Sebelum kemenangan itu, beliau memimpikan Rasulullah r. Dalam mimpinya Rasulullah r berpesa kepada beliau supaya memperigati sultan agar tidak menganggkat pemimpin yang zalim. Rasulullah r juga menyampaikan bahwa kemenangan ada di pihak muslimin. Lalu Syaikh Abu Hasan mengabarkan mimpi tersebut. Baru kemudian mimpi Syaikh menjadi nyata setelah setelah sultan mengganti para pejabat yang zalim.

Bab IV
Dipanggil Sang Kekasih

Isyarat Kepergian
Kesadaran beliau akan usia yang kian menua, memanggil hati untuk berkunjung ke Mekah guna melaksanakan ibadah haji. Beliau juga bermaksud mengajak keluarga, kerabat, dan murid-muridnya untuk menyertai.
Sebelum keberangkatan, beliau sudah merasa bahwa dirinya akan segera dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Perasaan itu beliau ungkapkan dengan isyarat. Ketika rombongan hendak berangkat, Syaik memerintah mereka untuk membawa peralatan menggali. Para rombongan merasa janggal, namun mereka tetap memenuhi perintah beliau. Saat itu ada salah satu rombongan yang memberanikan diri bertanya. Beliau menjawab, “Ya, siapa tahu diantara kita ada yang meniggal di tengah perjalan “.

Wasiat Sang Imam
Di tengah perjalan, beliau dan rombongannya berhenti untuk istirahat. Tepatnya di kota Idzaab, suatu gurun di tepi pantai laut merah kota Khumaistaroh. Pemberhentian tersebut atas aba-aba Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili.
Dalam istirahatnya, beliau memberi wasiat kepada keluarga, kerabat, dan murid-muridnya. Salah satu wasiatnya, beliau berkata “Wahai. Anak-anakku perintahlah putra-putramu untuk menghafal Hizib Bahar. Karena, ketahuilah bahwa di dalamnya mengandung Ismul-Lâh al-a’zham“.
Beliau juga berwasiat kepada murid-muridnya jika Syaikh Abul Hasan meninggal, maka yang menggantikannya sebagai mursyid tareka Syadzili adalah Abul Abbas al-Mursy. Tercatat dalam sejarah bahwa Syekh Abul Abbas al-Marsy adalah salah satu dari murid Saikh Abul Hasan asy-Syadzili yang menduduki maqâm tertinggi di tarekat Syadziliya.

Detik Kewafatan
Setelah beliau memberi tausyiyah (sebagai tanda wasiat beliau), dan pesan-pesan terakhir pada mereka, beliau kemudian melanjutkannya dengan mengerjakan sholat Isya’. Beliau sholat dengan penuh khusyuk dan anteng (Bhs.jawa).
Setelah mengerjakan shalat Isya’ dan shalat sunnah, beliau berbaring dengan menghadapkan wajah kepada Allah I (tawajjuh). Syaikh Abul Hasan tidak henti-hentinya berdzikir. Terkadang sangat nyaring, hingga terdengar oleh para murid dan sahabatnya.
Dalam detik-detik tersebut, Syaikh Abul Hasan juga tidak henti-hentinya memanggil nama Tuhannya. “Ilâhi… Ilâhi…” (wahai Tuhanku. wahai Tuhanku). Dan kadang beliau melanjutkannya dengan mengucapkkan, “Allâhummah matâ yakûnu al-liqâ’ ?” (Ya.. Allah. Kapan kiranya hamba bisa bertemu).
Ketika malam telah sampai di penghujung, yaitu mejelang terbitnya fajar sodik, suasana terasa sunyi. Dzikir yang beliau ucapkan sudah tidak lagi terdengar. Syekh Abul Hasan yang berada di dalam tenda tidak tidak lagi mengeluarkan suara. Hal itu membuat putranya asy-Syaikh Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin merasa tidak nyaman. Lalu beliau bergegas pergi ke hujrân (kamar) sang ayah untuk melihat keadaannya.
Setelah mendapatinya, beliau menggerak-gerakkan tubuh Syaikh Abul Hasan dengan halus. Innâ lil-Lâhi wa innâ ilaihi râjiun. Syaikh Syarafuddin terkejut dan tersentak. Beliau mendapat ayahandanya telah pulang kehadirat Allah I. Beliau, Syaikh Al-Imam al-Quthb al-Ghauts Abul Hasan asy-Syadzili t diangkat oleh Allah I ketika beliau berusia 63 tahun, sama dengan datuknya, Rasulullah r.

Makam yang Penuh Berkah
Kepergian Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili membuat umat Islam sedunia kehilangan, utamnya keluarga, sahabat, dan para muridnya. Air mata mengalir tanpa terasa terus membasahi pipi rombongan. Mereka menggenggam kesabaran sesuai dengan anjuran sang guru untuk selalu sabar dalam menghadapi musibah. Rombongan tersebut kemudian memandikan dan mengkafani jasad beliau.
Ribuan manusia terus berduyun-duyun tiada henti datang untuk bertakziyah. Meski matahari telah meninggi, justru semakin banyak masyarakat, ulama, siddiqin, dan para auliya’ yang mensholati jenazah Syaikh Abul Hasan. Termasuk diantara adalah qâdhil-qudhât, Syaikh al-Wali Bahruddin bin Jama’ah. Hadir pula di antara mereka pangeran dan pejabat kerajaan Mesir. Kehadiran meraka semua, tiada lain adalah untuk menghormati kepergian sang imam menuju rahmatul-Lâh.
Bahkan, setelah jasad beliau dikebumikan, makam beliau tidak pernah sepi dari para penziarah. Sampai saat ini pun, keramaian tersebut masih terus menyelimuti. Kaum muslimin dari berbagai penjuru negeri terus berdatangan untuk mengharap berkah. 


Bab V
Keagungan Hizib Syadziliyah

Secercah Karomah
Dikisahkan, saat waktu Syaikh Abul Hasan sedang sakit, tepat antara waktu Maghrib dan Isya’, beliau berkehendak untuk berwudhu. Lalu, beliau memanggil putranya Syekh Muhammad Syarafuddin, “Hai Muhammad, tempat itu (sambil menunjuk ke sebuah timbah) agar engkau isi dengan sumur itu”. Di luar tenda memang ada sumur. Para musafir biasanya mengambil air dari sumur tersebut ketika melintas. Namun, airnya asin karena memang berdekatan dengan tepi laut.
Mengetahui bahwa airnya asin, Syaikh Syrafauddin memberanikan diri untuk matur (menyampaikan) kepada ayahandanya, “Wahai Guru, air sumur tersebut asin’’. Sembari menawarkan air tawar yang telah disiapkan untuknya sebagai bekal perjalanan. Lalu Saikh berkata, “Iya, aku mengerti. Tapi ambillah air sumur itu. Apa yang aku inginkan tidak seperti yang ada dalam pikiran kalian “.
Lalu diambilkan untuk beliau air sumur yang dituju. Setelah digunakan berwudhu dan berkumur, namun beliau mengeluarkan kembali air kumuranannya ke wadah itu, beliau memerintakkan untuk membuangnya ke dalam sumur. Sejak itulah, dengan izin dan rida Allah I air sumur tersebut menjadi tawar dan sumbernya pun semakin besar.

Hasiat Hizib Bahar
Salah satu hizib karangan al-Imâm al-Quthbi asy-Syaikh Abul Hasan Ali asy-Syadzili yang sangat terkenal adalah Hizib Bahar. Hizib ini yang diwasiatkan oleh Syaikh Abul Hasan untuk dihafal dan selalu dibaca. Hizib itu sendiri, sebagaimana yang dijelaskan oleh asy-Syaik Ahmad bin Muhammad asy-Syafi’i, adalah wird (doa-doa) yang diamalkan agar dekat kepada Allah I. Biasanya dalam kalangan ‘alawiyin disebut râtib, semisal Ratibul Hadad. Hizib dapat berupa kumpulan dzikir, doa, dan taujihat.

Di antara hasiat yang terkandung dalam Hizib bahar adalah :

11. Selamat dari kecelakaan (baik di darat atau pun di lautan)
22. Dibebaskan dari kerepotan dan di kasih kejambaran oleh Allah I
33. Ditolong dari musuh-musuhnya
44. Selamat dari orang yang berbuat zalim
55. Ketenangan hati dan dijauhkan dari segala kesusahan
66. Mendatangkan rizki dan sebagai penolak balak

Syaikh Abdurrohman al-Basthami bercerita tentang keistimewaan Hizib Hahar. Hizib Bahar telah tersebar di beberapa masjid, mushala, dan tempa-tempat dzikir lainnya. Para ulama berkata tentang rahasia ismul a’zham dan sirrul jamîl al-akbar (Hizib Bahar) yang datangnya dari
Al-Quthb asy-Syaikh Abul Hasan Ali asy-Syadzili. Beliau, Syaikh Abul Hasan berkata, “Barang siapa yang membaca hizibku (Hizib Bahar) di Baghdad niscaya (ummat Islam) akan selamat (dari kekejihan bangsa Mongol) dan dalam keadaan afiyah. Dan barang siapa yang membaca Hizib Bahar ketika terbitnya matahari, maka Allah akan mengabulkan doanya, menghilangkan kerepotannya, mengangkat derajatnya dan mengisi hatinya dengan tauhid, juga Allah akan memudahkan perkaranya dan menggampangkan urusannya. Dan barang siapa yang membacanya setelah shalat maka Allah akan memperkaya aklaqnya dan aman dari perkara (jeleknya) zaman . Dan barang siapa membacanya di perahu ketika angin kencang maka dengan izin Allah angin itu akan hilang. Dan barang siapa menulisnya (Hizib Bahar) di pagar desa atau rumahnya maka Allah akan menjaga tempat itu dari kejelekan yang datang. Dan barang siapa yang isthiqomah membacanya, niscaya orang itu tidak akan mati dalam keadaan tenggelam, terbakar, dan tersmbar petir“
Hizib Bahar adalah bacaan langsung dari Rasulullah r melalui Sayikh Abul Hasan asy-Syadzili. Suatu hari beliau bersama orang Nasrani pergi hendak menunaikan ibadah Haji. Beliau melewati jalur laut, yaitu laut Qulzum (Sekarang laut Merah). Namun, di tengah laut tidak ada angin yang mendorong perahunya. Mereka hanya bisa menanti datangnya angin. Beberapa saat kemudian Syaikh Abul Hasan didatangi Rasulullah r. Beliau r mentalqîn Hizib Bahar kepada Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili.
Setelah itu, Syaikh memerintah si Nasrani untuk melanjutkan perjalanannya. Nasrani menyangkal, “Mana anginnya?“. Beliau menjawab, “Lakukanlah“. Maka seketika itu angin berhembus mendorong perahu mereka. Menyaksikan peristiwa tersebut si Nashroni langsung masuk Islam.
Diantara hizib-hizib lainya yang beliau karang adalah, Hizib Kabir, Hizib Ayât, Hizib Fath, Hizib Nur, Hizib Lathif, Hizib Ikhfâ’, Hizib Thams, Hizib Nashr, Hizib Birru, Hizib Kifâyah, Hizib Syakwâ, Hizib Falâh, Hizib Dâiran.
Dan masih banyak lagi karangn Hizib-hizib dan doa-doa karangan beliau yang tersebar di berbagai penjuru dunia.

Silsilah Tarekat Asy-Syadziliyah
Beliau mendapat ijazah dan baiat tharîqah dari Syaikh Abi Muhammad Abdussalam al-Masyisy t silsilahnya sampai kepada baginda nabi Muhammad r. Sedangkan urutannya sebagai berikut;
Syaikh Abul Hasan Ali asy-Syadzili t mendapat bay’at dari Asy-Syaikh al-Quthb asy-Syarif Abu Muhammad Abdussalam bin Masyisy t, beliau menerima bai’at dari Al-Quthb asy-Syarif Abdurrohman al-Aththor az-Zayyati al-Hasani al-Madani t, dari Qutbu-Auliyâ’ Taqiyuddin al-Fuqoyr ash-Shufy t, dari Sayyidis Syaikh al-Quthb Fakhruddin t, dari Sayyidis Syaikh al-Quthb Nuruddin Abil Hasan Ali t, dari Sayyidis Syaikh Muhammad Tajuddin t, dari Sayyidis Syaikh Muhammad Syamsuddin t dari Sayyidis Syaikh al-Quthb Zainuddin al-Qozwiny t, dari Sayyidis Syaikh al-Quthb Abi Ishak Ibrohim al-Bashri t, dari Sayyidis Syaikh al-Quthb Abil-Qosim Ahmad al-Marwani t, dari Sayyidis Syaikh Abu Muhammad Said t, dari Sayyidis Syaikh sa’ad t dari Sayyidis Syaikh al-Quthb Abu Muhmmad as-Su’udi t, dari Sayyidis Syaikh al-Quthb Abu Muhammad Said al-Ghozwani t, dari Sayyidis Syaikh al-Quthb Abu Muhammad Jabir t, dari Sayyidis Syaikh Syarif Hasan bin Ali t, dari Sayyidina Ali bin Abi Tholib t, dari Sayyidina wa Habibina wa Syafi’ina wa Maulana Muhammad r dari Sayyidina Jibril u dari Robbil-Izzat Allah I.


Teks Hizib Bahar

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيدنا محمد اشرف الأنبياء والمرسلين وعلى اله وصحبه وسلم .

حزب البحر للإمام الشاذلي رضي الله عنه
اللهم يا علي , يا عظيم , يا حليم , يا عليم , آنت ربي وعلمك حسبي , فنعم الرب ربي ونعم الحسب حسبي , تنصر من تشاء وآنت العزيز الرحيم , نسالك العصمة في الحركات والسكنات والكلمات والارادات والخطرات من الشكوك والضنون والأوهام الساترة للقلوب عن مطالعة الغيوب , فقد ابتلي المؤمنون وزلزلوا زلزالا شديدا , وأذ يقول المنافقون والذين في قلوبهم مرض ما وعدنا الله ورسوله إلا غرورا , فثبتنا وانصرنا , وسخر لنا هذا البحر كما سخرت البحر لموسى عليه السلام , وسخرت النار لإبراهيم عليه السلام , وسخرت الجبال والحديد لداود عليه السلام , وسخرت الريح والشياطين والجن لسليمان عليه السلام , وسخر لنا كل بحر هو لك في الأرض والسماء , والملك والملكوت , وبحر الدنيا وبحر الآخرة , وسخر لنا كل شيء , يا من بيده ملكوت كل شيء , كهيعص , كهيعص , كهيعص , انصرنا فانك خير الناصرين , وافتح لنا فانك خير الفاتحين , واغفر لنا فانك خير الغافرين , وارحمنا فانك خير الراحمين , وارزقنا فانك خير الرازقين , واهنا ونجنا من القوم من القوم الظالمين , وهب لنا ريحا طيبة كما هي في علمك , وانشرها علينا من خزائن رحمتك , واحملنا بها حمل الكرامة مع السلامة والعافية في الدين والدنيا والآخرة انك على كل شيء قدير , اللهم يسر لنا أمورنا مع الراحة لقلوبنا وأبداننا , مع السلامة والعافية في ديننا ودنيانا , وكن لنا صاحبا في سفرنا , وخليفة في أهلنا , واطمس على وجوه أعدائنا , وامسخهم على مكانتهم فلا يستطيعون المضيء ولا المجيء إلينا , ولو نشاء لطمسنا على أعينهم فاستبقوا الصراط فآني يبصرون , ولو نشاء لمسخناهم على مكانتهم فما استطاعوا مضيا ولا يرجعون , يس , والقران الحكيم , انك لمن المرسلين , على صراط مستقيم , تنزيل العزيز الرحيم , لتندر قوما ما انذر آباؤهم فهم غافلون , لقد حق القول على أكثرهم فهم لا يؤمنون , انا جعلنا في أعناقهم أغلالا فهي إلى الأذقان فهم مقمحون , وجعلنا من بين أيديهم سدا ومن خلفهم سدا فاغشيناهم فهم لا يبصرون , شاهت الوجوه , شاهت الوجوه , شاهت الوجوه , وعنت الوجوه للحي القيوم , وقد خاب من حمل ظلما , طس , حمعسق , مرج البحرين يلتقيان بينهما برزخ لا يبغيان , ( حم , حم , حم ,حم ,حم ,حم ,حم ) حُم الآمر , وجاء النصر , فعلينا لا ينصرون ( حم , تنزيل الكتاب من الله العزيز العليم , غافر الذنب وقابل التوب , شديد العقاب , ذي الطول , لا اله إلا هو إليه المصير ) ,بسم الله بابنا , تبارك حيطاننا , يس سقفنا , كهيعص كفايتنا , حمعسق حمايتنا ( فسيكفكهم الله وهو السميع العليم – ثلاثا - ) , ستر العرش مسبولا علينا , وعين الله ناظرة إلينا , بحول الله لا يقدر علينا , والله من ورائهم محيط , بل هو قران مجيد في لوح محفوظ , ( فالله خير حافظا وهو ارحم الراحمين – ثلاثا - ) , ( إن ولي الله الذي نزل الكتاب وهو يتولى الصالحين – ثلاثا - ) , (فان تولوا فقل حسبي الله لا اله الا هو عليه توكلت وهو رب العرش العظيم , – ثلاثا-) , ( بسم الله الذي لا يضر مع اسمه شيء في الأرض ولا في السماء وهو السميع العليم – ثلاثا - ) , ( ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم – ثلاثا - ) , وصلى الله على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم تسليما كثيرا , والحمد لله رب العالمين , نصر من الله وفتح قريب , وبشر المؤمنين , هو الأول والآخر والظاهر والباطن , وهو بكل شيء عليم , ليس كمثله شيء وهو السميع البصير نعم المولى ونعم النصير , غفرانك ربنا واليك المصير .


Sumber : Dari beberapa kitab

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 komentar:

komentar
March 5, 2015 at 6:05 AM delete

Tulisannya bagus sekali, mas. Salam kenal dari penganggum Syeh Hasan Assyadzili. :-)

Reply
avatar