Sidogiri, Aku Baik-Baik Saja, “Sidogiri saiki, Sidogiri biyen”



“Sidogiri . . . guru ku,
            Kan selalu ku rindu ….
Sidogiri . . . ku sayang,
            Kan salalu ku kenang ….
Dari awal sampai akhir zaman,
            Pesantren mu berkibar.
Dari awal sampai akhir zaman,
            Kan selalu ke kenang.”

Itulah, yang aku dengar. Lirik lagu yang dibaca pada ulang tahun Pondok Pesantren Sidogiri yang ke 268. Betapa bangganya aku, ketika aku masuk ke alam yang penuh dengan nuansa keilmuan, Sidogri. Dan, betapa berungtungnya aku telah ditolong oleh kekasih-kekasih Allah I menuju jalan lurus yang penuh dengan berkah.

Mungkin aku sempat bertanya pada diriku sendiri “Sidogiri, Ada Apa Denganmu?, Sidogiri. Benarkah Kamu Berubah? Sidogiri Apakah Kamu Sakit?” ataukah cuman gejolak hati, atau bahkan hanya sekedar pertanyaan yang tak penting?

Saat aku melihat realita yang ada, memamg keadaan Sidogiri sekarang ‘berbeda’ dengan yang dulu. Dulu, santri masih menanak dengan kayu bakar, tapi sekarang di Sidogiri santri dengan mudah dan praktis bisa mendapatkan makanan di unit-unit kopontren. Dulu, ketika santri bercengkrama dengan kitab lusuh, mereka hanya ditemani sinar lentera lampu tradisional (Red: Madura, Demar), sekarang zaman telah menyulap Sidogiri menjadi terang benderang, tentu dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.

Ah, Sidogiri. Benarkah kamu telah berubah? Sehingga santri-santrimu juga berubah. Tidak ! Aku sangat yakin kamu tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Karena, tujuanmu hanya satu; mencetak santri sebagai  ibâdillâh as-shâlihîn. Sebagaimana yang ditanamkan oleh para Masyayikh terdahulu. Saat al-Faqir masih duduk di bangku ibtidaiyah, pernah mendengar guruku berkata, “Kiai Hasani Nawawi pernah dawuh, ‘Sidogiri Saiki, Sidogiri Biyen” (SIDOGIRI SEKARANG, SIDOGIRI YANG DULU). Waktu itu, aku bertanya-tanya. Apa maksud dawuh beliau?. Al-Hamdulillah al-Faqir mendapat jawabannya. Yaitu interpretasi dawuh al-Maghfirullah Kiai Hasani itu adalah sampai kapan pun tujuan luhur sekaligus identitas Sidogiri adalah mencetak santri sebagai “ibâdillâh as-shâlihîn”,serta berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunah Rasul.

Menurut al-Fakir, Sidogiri tak ubahnya sepetak sawah yang ditanami padi. Meski terlihat kotor dan risih dimata orang-orang berdasi atau siapa saja. Tapi ketika dilihat lebih dekat, maka akan tampak biji-biji harapan yang siap dipetik dan dirasakan hasilnya.
Jadi, bukan seperti Gunung, yang dari jauh tampak indah, rindang, sejuk dan mendamaikan, padahal dari dekat, dibalik pohon-pohon rindang itu terdapat tepian tebing yang terjal, serta banyak bebatuan. Di sana juga terdapat hewan spesies yang mematikan, bahkan ternyata gunung yang tampak tenang bersatatus aktif yang siap meletus dan mengeluarkan laharnya kapan saja.  Sebagaimana kata saudara kita, Zainuddin Rusdy dalam tulisannya yang berjudul “Sidogiri. Ada Apa Denganmu?” yang dimuat di Mading Himmah edisi ke-134 Dzul Qa’dah 1433 H.

Setelah melalui proses panjang (hampir 3 Abad). Mungkin mata masyarakat membaca Sidogiri saat ini sebagai pesantren paling modern, atau bahkan pesantren bertaraf Internasional. Secara zahir penilaian ini bisa kita benarkan. Dengan gedung-gedung mentereng, dan fasilitas-fasilitas elit. Kita tidak bisa memungkirinya.

Namun, tampak tabu dan tidak penting bagi Sidogiri. Sebab, yang terpenting adalah tujuan ‘batin’nya yaitu mencetak santri sebagai pribadi mulia dan sebagai ibâdillâh as-Shâlihîn. Maka, sangat pas bila karakter salaf begitu kentara dan mengakar di tubuh Sidogiri. Maka sekalai lagi, “Sidogiri saiki, Sidogiri biyen.”.

Realita saat ini memang mengindikasikan gejolak perubahan pada tubuh santri Sidogiri. Tapi semua itu, sama sekali tidak mempengaruhi tujuan Sidogiri. Ingat dan sadarlah! bahwa di Sidogiri apapun tidak bisa diukur secara matematis. Sidogiri penuh dengan berkah, tapi juga sebaliknya. Sidogiri memiliki peraturan-peraturan yang mesti ditaati, dan Sidogiri juga mempunyai larangan-larangan yang mesti dihindari. Secara zahir, khidmah menjadi ‘tukang sapu’ tampak hina dimata kita, ternyata begitu indah bagi Masyayikh. Sungguh Sidogiri memang tidak bisa diukur secara matematis. Falâ Taghfil!

Share this

Related Posts

First