Dia sedang tersimpuh, duduk di depan teras rumahnya.
Melihat air hujan yang membasahi tanah airnya. Wajahnya yang yang bersinar bak
sinar rembulan berubah menjadi bunga yang lusuh. Rasa psimis, kecewa, gelisah,
gunda, gelisah dan bingung menjadi teman setia. Entah, ia seakan menunggu nasib
sebagai seorang fatalis.
Solusi, Jalan keluar, dan pentunjuk adalah suatu yang
di tunggu-tunggu orang-orang saat itu. Tapi kenapa ia saat ini hanya bisa di
lihat di balik guyuran hujan yang lebat. Yang dulunya jelas di pandang menjadi
suatu yang samar, rabun. Yang dulu indah bersamanya menjadi hampa, gelap.
“Hai,, udahlah tidak usah di pikir, biarlah mereka
mencari sesuka mereka”, sahutku padanya.
“Tunggulah sebentar. Aku yakin mereka bukan tidak
melihatku, hanya saja mereka lupa”, dengan suara terbata-bata ia paksa
untuk menjawabnya.
“Apa kamu ingin di perhatikan oleh mereka?” sapaku
padanya dengan nada penasaran.
“Bukan, aku hanya ingin mereka tidak lupa padaku”,
jawabnya yang lesuh disertai air mata yang menetes di lesung pipinya.
Saya tidak bisa membaca apa yang ia pikirkan. Hanya
kata-kata singkat yang keluar dari kedua bibirnya. Meski dengan suara yang
lesuh, aku merasa ia bukan hanya sebatas menjawab padaku. Tapi ia ingin
memberitahuku bahwa ia siap menolong mereka sampai kapanpun.
Beberapa saat kemudian. Suara tetesan air hujan
semakin deras. Bercampur dengan suara lirih desahan tasingannya yang ia paksa
untuk tidak menangis. Tanpa sengaja, entah kenapa saya prihatin padanya; yang
tadi hanya ingin menenangkannya, berubah menjadi ingin selalu bersamanya. Yang
tadinya hanya ingin membantunya, berubah menjadi ingin selalu menolongnya.
Saya khawatir, ia akan di lupakan oleh mereka. Jika
mereka tetap saja tidak peduli. Dalam benakku, saya berfikir, “Jika ia hanya
ingin tidak dilupa oleh mereka, itu hanya sia-sia saja”. Mengharap suatu
yang sulit untuk dicapai keculai mereka menyadarinya. “Bagaikan ruang kegelapan
tanpa sinar yang menunggu sinar itu datang sendiri”.
Mungkin mereka berada di kegelapan itu. Tanpa adanya cahaya,
sinar, dan teman dalam hatinya. Sedangakan yang lain hanya bisa menonton di
tempat ia berteduh. Seandainya bisa saya berharap bisa menolongnya dan saya
akan selalu berada di sampingnya.
Lalu dengan rasa bersalah, saya tidak tahan untuk
menariknya dan mengajaknya untuk tidak menghiraukan mereka itu. Antara takut dan ragu-ragu dalam benakku. Apa
jawaban yang akan di lontarkan padaku. Mungkin ia akan marah atau malah
memusuhiku. saya pun memaksa diri dan memberanikan diri kepadanya.
“Apa sih, tujuanmu?”, sejenak pertanyan yang
bisa saya katakan padanya.
Ia menoleh padaku tanpa ada satu katapun yang ia
ucapkan. Denga tatapan mata yang tajam, hingga membuatku takut. Saya pun berpikir
ia marah padaku. Dan ketika saya mulai mengatakan untuk kedua kalinya. Serentak
ia lalu menjawab dengan tetesan air mata yang mengalir deras di kelopak matanya,
membasahi pipinya. Denga suara merdu yang keluar dari kedua mulutnya.
“Aku ini kebenara. Aku tidak takut untuk tidak diperhatikan
oleh mereka. Aku hanya khawatir pada mereka yang melupakanku. Jelas aku ini
hanya ingin membawa apa yang benar, membawa ketentraman di antara mereka. Coba
lihat mereka. Saling mencemooh, mengejek, bertengkar, berebut. Mereka lupa apa
tujuan mereka. Salah satu mereka lali klo mereka benar-benar salah, mereka hanya
mementingkan pribadi mereka”. Tangkasnya.
23-11-2016
Universitas Darussalam Gontor, Ponorogo