Ketika Mimpi Hanya Sebatas Hanyalan



Wahai Tuhan-Ku, di langit, bintang gemintang makin redup. Berjuta pasang mata terlelap. Dan raja-raja telah menutup pintu gerbang istananya. Begitu juga para pecinta telah menyendiri bersama kekasihnya. Tapi kini aku bersimpuh di hadapan-Mu, mengharapkan cinta-Mu. Karna telah ku serahkan cintaku hanya untuk-Mu”. 

Ujar sang penyair dari Negeri seribu satu malam, Bashra (Irak). Ia adalah Rabiah al-Adawiyyah dari klan al-Atik suku Qays bin ‘Adi. Dengan menggunakan irama bahasa yang memiliki makna yang dalam, si Rabiah tidak segan-segan bermetafora. Ia seakan bermesra di jalan-Nya, berjalan di atas takdir-Nya, berusaha untuk mencapai puncak makrifat dengan konsep cintanya, hingga berpertemu dengan kekasihnya -Illahi Rabbi-.

Mungkin benar kata Kahlil Gibran, “Kita semua sama, terpenjara dalam kesendirian. Hanya saja ada yang terkurung di ruang gelap tanpa cahaya.” Meski satu-satunya alasan kita menjalin hubungan dengan orang lain justru adalah demi kepentingan pribadi.

Berbeda dengan Râbiah, ia seakan diselimuti cahaya Tuhan (Rubbâniyyah) tanpa menghiraukan apa yang ada disekitarnya. Ia akan selalu tegar dan akan terus berusaha untuk mencapi puncaknya, yaitu pertemuan dengan Sang Kekasih yang abadi.

Begaiman mana dengan kita? Terkadang kita hanya merasa iba pada diri sendiri. Bersifat egois, memaksa kehendak. Entah itu hanya sebatas perasaan belaka atau hanya rasa takut pada diri kita. Bagaimana tidak, ketika kita mengharapkan sesuatu yang kita inginkan dan tidak mendapatkannya, kita merasa sedih dan galau dengan kesendiriannya. Seakan hanya kita yang gagal, “Suatu impian yang melewati batas takdir Tuhan."

Hati ibarat lentera dengan cahaya yang redup. Sewaktu-waktu cahaya itu akan hilang dengan sendirinya tanpa kita sadari. Dan akhirnya akan menjadi gelap-gulita. Buta akan kebenaan, menyampingkan takdir, gampang tertipu dengan tipu daya setan. 
Coba kita lirik, Al-Quran yang menjadi petunjuk jalan bagi kita. Ia sudah memberikan solusi yang tepat agar hati menjadi tenang dan terang benerang. Kita dianjurkan bedzikir dan bermunajah kepada Allah (QS. Ar-Ra’d {13}: 28). Dengan berdzikir kita akan selalu ingat balasan pahala dan ancaman siksaan Allah.

Tentu itu semua harus melalui  proses yang panjang. Hujjatu al-Islam Imam al-Ghazali dalam kitab Mukasyafah al-Qulub yang menerangkan tahapan agar hati dekat dengan-Nya sebanyak 111 bab, beliau memulai dengan Khauf (rasa takut), sebab dengan adanya rasa takut pada Allah, kita sadar bahwa kita hanya sebatas hamba sahaya yang lemah yang tidak lain adalah  untuk liya’budun (beribadah).

Sungguh keliru jika ada anggapan bahwa hati bisa tenang dengan memuaskan diri, mencari kenikmatan dunia sehingga hilanglah rasa sedih dan mencari jalan dengan bantuan makhluk lemah. Alangkah indah lantuan kata Rabiah, “Engkau –Allah-, wahai hidupku!!, wahai harapanku!!, tanpa enkau aku tiada di atas bumi ini”.

Ketika telah meresap dalam hati, Dia (Allah) akan menjadikan hati itu dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang. Yang keras beralih lunak, yang kasar menjelma lembut, yang kering berubah jadi basah, yang liar menjadi jinak. Tiba-tiba pandangan mata, sentuhan tangan, pembicaraan, gerak anggota badan, dan getar hati menjadi sebuah simfoni. Semua menjadi lantunan irama belas kasih Allah pada Hambanya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »